Tiga Kata yang Beracun

By | 7:53 AM Leave a Comment

Selamat malam. 

Semoga belum terlalu malam aku menyapamu, mbak. Aku cukup yakin pertama kali melihat namaku di sini menyuratimu, belum tentu mbak mengingatnya. Berjuta-juta orang tlah mbak temui, dan aku hanyalah sepersekian debu *ralat: orang* yang bertatap muka selama sekitar 45 menit di cafe kopi terkenal itu, *bintangbucks*. Jadi, kukoreksi ucapanku. Mana mungkin kau ingat?

Tapi bukan itu maksudku. Bukan sekedar mempersalahkanmu karena tak mengenaliku. Aku mau berterima kasih untuk tiga katamu. Tiga kata yang mbak tulis di buku pemberian mbak. Masih ingat? Sini, aku bantu mengingat perlahan-lahan. 

Siang itu, ketika aku tergesa-gesa sambil berlarian di salah satu Mal yang cukup besar di Jakarta Barat hanya karena takut terlambat, padahal memang mbak telah duduk lebih awal di kursi pojok bersama seorang lelaki gagah yang ternyata suamimu.

Yang kemudian menyalamiku duluan dengan genggaman yang cukup kuat, tampak terlihat percaya diri dan matang. Dari situ aku paham, mbak memang utusan Tuhan untuk para manusia yang penuh keputusasaan. Yang tersenyum lebar menatap mataku erat-erat hingga membuatku sedikit gugup. 

Kukeluarkan handphoneku untuk merekam suara penuh semangatmu demi meninggalkan jejak kisahmu di salah satu tabloid infotainment, tempatku bekerja dulu. Menyesal tidak membaca bukumu sehari sebelum bertemu, hingga akhirnya mbak terpaksa mengulang pernyataan-pernyataan yang sebenarnya sudah tertulis di karyamu. Sejujurnya sampai sekarang pun, aku belum memulai utuk membacanya. Terakhir? Masih halaman ke bla bla bla. Payah. 

Sudah mulai mengingat? Aku bantu lagi.

Hal yang paling membuatmu menggebu-gebu bercerita adalah saat masuk ke bagian film. Bukan film siapa-siapa. Ya, aku masih ingat obrolanmu tentang sebuah proyek film yang melibatkan kehidupanmu. Saat itu, aku berjanji akan menontonnya di bioskop, nanti kalau sudah keluar. Terakhir, aku ke bioskop, membujuk suamiku untuk menonton Chelsea Islan dan siapa itu lelaki yang berperan jadi suamimu, aku lupa. Aku menikmatinya. Sayangnya, yang paling kuingat, hanya singkatan SHMILY. Maafkan aku. 

Sepertinya kening mbak mulai sedikit berkerut setelah membaca kata per kata dariku. Tidak masalah mbak, kalau tak ingat sedikit pun. Aku hanya ingin bilang, terima kasih. Tiga kata ini, sejujurnya jadi pompa hidupku ketika semua yang berhadapan denganku, tak menjunjungku. Tiap ingin melelah, otak kananku beradu pendapat dengan otak kiriku. Hingga tiga kata ini tiba-tiba muncul begitu saja. Bahkan wajahmu menuntun kedua otakku untuk bersinergi. "Ribka Pasti bisa." Secuil tapi kekal dan konsisten. Ya mbak Merry, aku pasti bisa melewati segala terjangan kuat, karena mbak Merry pun sudah membuktikannya. Strategi, usaha dan perkataanmu, itu lah yang menguatkanku. Bahwa setidakbisanya orang, jalan keluar sebenarnya adalah pasti bisa. 

Jadi, apa lagi yang akan kau tulis di secarik kertas untuk membuatku lebih percaya diri? Sebenarnya cukup. Tapi tak ada salahnya meminta padamu, hihi. Mungkin masih ada bonusnya yang tersisa dari pertemuan pertama kita dua setengah tahun lalu?

salam dariku,
Ribka yang pasti BISA!  


0 comments:

Post a Comment