ULAON SAUR MATUA
Tepat dua minggu lalu, Opung terlihat lemah tapi tidak biasanya, bahkan sampai susah bernafas hingga butuh bantuan oksigen milik gedung 'sakit'. Setidaknya hanya deskripsi itu yang dijelaskan oleh kakak sepupuku. Sampai akhirnya kakak ngomong "Opung sudah pergi," beberapa menit kemudian. Sejenak keluar air mataku, saat menyadari bahwa aku tak bisa lagi datang ke kasur opung, sekedar untuk menyapanya dan mencium pipinya. Memang kuakui, aku jarang mengunjungi opung semenjak kuliah di Jogja. Sesekali saja saat aku harus pulang ke Bontang. Terakhir, Maret tahun lalu, saat aku dan suami akan martumpol di Bontang. Kami sempatkan diri untuk menemui opung dan 'memamerkan' calon suamiku ke beliau. Selebihnya, yang paling kuingat tentang opung adalah, saat aku masih SMA. Waktu itu, opung sering menelponku hanya untuk diminta memijit beliau. Padahal jarak rumah bapak dan rumah tulang, tempat tinggal opung waktu itu, termasuk cukup jauh. Nggak jarang, aku mengeluh soal keinginan opung. Tapi sekarang, semuanya tinggal kenangan. Kami hanya bisa mengingat-ingat setiap celotehan opung semasa hidup.
Yang disyukuri dari kematian opung, ketika pomparan Opung Grace bisa berkumpul lagi. Bukan hanya anak, menantu dan cucu yang datang, tapi suami dan istrinya cucu-cucu, juga ikut mengantar kepergian opung. Hebatnya opung saat hidup dulu, Beliau sempat dan bahkan sanggup bermain-main dengan cicit-cicitnya meski hanya lewat tempat tidur. Makanya orang batak menyebutnya, SAUR MATUA, alias sempurna lah tuanya. Bisa juga dibaca di https://pungsin.wordpress.com/tag/adat-saur-matua/ untuk penjelasan lebih lengkap tentang adat ini.
Sebenarnya nggak ada yang perlu ditangisin dari kepergian opung untuk selama-lamanya. Dari usia pun, Tuhan sangat baik memberi umur panjang hingga opung bertahan selama hampir 83 tahun. Apa lagi yang kurang? Namun, sebagai manusia, ada kalanya kami mengingat memori itu, dan kemudian merenung sebentar, menangis sebentar, tertawa lagi sebentar. Yang aku syukuri (lagi-lagi), kami pomparan Opung Grace, terlihat tak begitu ngos-ngosan saat menangis. Yang ada, kami ngos-ngosan karena terlalu banyak berdiri, menyambut setiap punguan yang punya 'benang' dengan pomparan kami. Mempersilahkan mereka untuk membentangkan kain ulos di pundak kami, sesekali dengan tarian tor-tor. Beberapa kali, ada juga aksi 'bagi duit' dan bagi 'daging kebanggaan'. We feel happiness inside our heart.
Moment ini nggak akan bisa diulang. Kematian menyatukan kami kembali. Kematian yang membuat kami melepaskan pekerjaan kami masing-masing sementara waktu. Bahkan setelah Opung tak lagi di dunia ini, semoga eratnya keluarga ini tetap kuat seperti dulu. Bunga t'lah ditabur tuk menemani tubuhmu. Rest in Peace, our Grandma, Ny. Tionang Siahaan Br. Aritonang!
Salam kenal Kak. Sy Angga, bekerja di Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (wil. kerja Aceh-Sumut), Unit dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sy sedang menulis artikel tetang Upacara Saurmatua sesuai dengan postingan ini. Artikel tersebut akan dijadikan Leaflet dan diterbitkan oleh Kemdikbud untuk nantinya dibagikan gratis bagi anak sekolah, instansi dan masyarakat untuk keperluan penyebaran informasi terkait mata budaya kita. Jika Kk berkenan, bolehkan sy menggunakan beberapa foto di postingan ini untuk dimasukkan dalam leaflet tersebut? Mengingat kami belum mempunyai dokumentasi foto/video terkait dengan upacara tsb. (Sumber foto akan kami sertakan dalam leaflet tersebut).
ReplyDelete