Hi, BorSi (Boru Siahaan)!

By | 1:08 AM 2 comments
Day 7..

12.42 WIB

Dear Mom

apa kabarmu hari ini? Sepi kah di sana? Karena hanya berdua dengan papa? Ah, pasti jawabanmu hanya, "Enggak tuh. Di sini kan banyak kegiatan." Seakan tak mau mengaku, padahal rindu aku dan kedua anak lelakimu. Buktinya saja, kemaren kau meminta aku dan suami untuk pulang ke Bontang, merayakan ulang tahun papa ke-60, empat belas April nanti. Tapi itu lah ciri khasmu, mencoba kuat dan tegar, tak ingin setetes air matapun tertangkap mataku.

Mama, walau baru seminggu kita bersua, ada rasa hampa bila tak seatap denganmu. Mungkin, karena aku terbiasa bergantung pada keuletanmu. Sanggup mengerjakan berbagai hal tanpa mengeluh. Aku tau itu tak baik buat masa depanku. Wajar, bila kau selalu panas hati dengan kelalaianku. Apalagi, sekarang aku tlah jadi milik seorang pria. Mungkin kau merasa gagal bila aku masih sama dengan aku yang delapan tahun lalu. Iya ma, aku masih terus berusaha mengalahkan egoku. 

Ma, aku senang karena keingintahuanmu progresif. Lihat, berapa foto dan status di media sosialku yang kau like? Meski hanya sebuah jempol virtual yang melekap, aku tau itu adalah sebuah bentuk dari rasa kasih sayangmu. Memantauku meski tak menyentuhku. Kadang tanpa diaba-aba, kau membantuku membagikan foto-foto jualan online shop-ku ke teman-teman Facebookmu. Komen mama yang agresif dan penuh tanya, kadang sedikit risih bagiku, tapi kukibaskan pikiran burukku. Semua yang kau kerjakan, terasa begitu indah, Ma. 

Apapun bisa terlihat di media sosial, termasuk saat kau memberi tahu semua orang lewat 'add location to post' bahwa kau sedang ada di rumah sakit untuk Fisioterapi. Terakhir yang aku tau, kau sempat mengeluh soal saraf di bagian tangan dan jarimu. Itu cukup menggoyahkan diriku sekaligus mengingatkanku. Engkau sudah tak muda lagi, Ma. Sudah mulai banyak penyakit yang betah di tubuh kecilmu. Tapi, bodohnya, aku tak pernah peka akan rasa sakitmu. Hanya bisa menuntut dan menyalahkan. Beruntungnya, kau punya pria yang sabar dan cukup andal untuk menemanimu hingga masa tertua. Beri tahu aku ma, apa yang harus kulakukan untuk membuatmu tersenyum bangga? 

Maafkan kelakuanku yang tak pernah berhasil menyenangkanmu. Pernah pun terbersit olehku, hal-hal bodoh yang kurangkai sendiri. Padahal aku tau, itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Kadang, kata-kata kasar yang hanya terpampang di kerutan wajahku, bila kita sedang diam-diaman. Walau pada akhirnya, aku kembali menarik ucapan di hatiku dan menggantinya dengan kalimat, "Maaf Ma, I love you so much."Sayangnya, aku belum bisa menyuarakannya secara lantang sambil memelukmu. Film-film drama romantis ibu dan anak, sering kali membuatku sirik, kenapa mereka bisa begitu mesra, sedangkan aku tidak.

Pernah aku di titik paling terendah, dan lewat suara di teleponmu, sesungguhnya itu kekuatan awal bagiku untuk menataki tanah ini kembali. Kau tak tahan bila ku sedih. Pernah juga ku menangis, seakan tak bakal bertemu lagi denganmu. 15 Maret tahun lalu, adalah saat-saat terberatku bertekuk lutut di hadapanmu. Aku mengira bahwa kehidupan kita bersama, hanya sampai di situ. Selebihnya, aku milik keluarga baruku. Tertawa rasanya mengingat itu lagi. Aku masih tetap anakmu kan, Ma? 

Ma, aku sedang belajar memprioritaskanmu. Membiarkanmu berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang membuatmu girang. Terlebih saat bercerita tentang anak-anak kecil di lingkungan rumah yang kau anggap cucumu. Aku tau, lebih bahagia lagi kalau punya cucu kandung. Tapi, semesta belum mengizinkannya. Sabar kah kau ma? Menunggu cucumu tiba di dunia ini tanpa tahu kapan waktunya. 

Hanya satu pintaku pada Tuhan.

Izinkanlah engkau sanggup melihat anak perempuanmu ini melahirkan dan merasakan rasa sakitnya seperti engkau melahirkanku 25 tahun lalu, agar aku sadar bahwa aku tak pantas menyakitimu.

Mama, sayang kamu. 
Love, love, love.

Boru hasianmu (Baca: anak perempuanmu tersayang)

2 comments: Leave Your Comments